Setiap muslim tentu
menginginkan untuk masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka,
untuk itu marilah kita memperhatikan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam berikut ini,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang akhir ucapannya (sebelum mati) adalah kalimat Laa ilaaha illallah maka dia akan masuk surga.” [HR. Abu Daud dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Shahihul Jami’: 11425]
Jelaslah bagi kita bahwa kunci surga adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Ibarat sebuah rumah, surga memiliki pintu yang harus dibuka dengan sebuah kunci, itulah kalimat Laa ilaaha illallah.
Akan tetapi, kenyataannya tidak semua orang yang memiliki kunci
tersebut mampu membuka pintu surga, dikarenakan kunci mereka tidak
bergerigi.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya,
وَقِيلَ لِوَهْبِ
بْنِ مُنَبِّهٍ أَلَيْسَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ
قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ
جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ
لَكَ
“Dan pernah dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah Laa ilaaha illallah
adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Benar, akan tetapi tidak ada
sebuah kunci kecuali memiliki gerigi, maka apabila engkau datang dengan
kunci bergerigi akan dibukakan pintu surga untukmu, jika tidak maka
tidak akan dibukakan untukmu”.”
Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap hamba untuk memahami kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dengan baik dan mengamalkannya. Sebab tidak ada manfaatnya sama sekali jika seseorang hanya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah,
meskipun dia berzikir dengannya seribu kali setiap hari, tanpa memahami
dan mengamalkannya, inilah yang dimaksud memiliki kunci tanpa gerigi.
Makna Syahadat
Kata syahadat (الشهادة) yang biasa diterjemahkan dengan “persaksian” berasal dari kata (شهد) secara bahasa maknanya adalah,
أن يخبر بما رأى وأن يقر بما علم
“Seorang yang mengabarkan apa yang dia lihat dan menetapkan (meyakini) apa yang dia ketahui.” [Al-Mu’jamul Washit, 1/497]
Adapun maknanya secara syari’at, berkata Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah,
من شهد أن لا إله
إلا الله أى من تكلم بها عارفا لمعناها عاملا بمقتضاها باطنا وظاهرا فلابد
فى الشهادتين من العلم واليقين والعمل بمدلولها
“Seorang yang bersyahadat Laa ilaaha illallah adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan mengetahui maknanya, mengamalkan konsekuensinya secara batin dan lahir. Maka harus ada dalam dua kalimat syahadat; ilmu, yakin dan mengamalkan kandungannya.” [Fathul Majid, hal. 65-66]
Dari penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa syahadat Laa ilaaha illallah yang benar apabila terpenuhi 4 syarat:
1) Ilmu tentang Laa ilaaha illallah
2) Yakin terhadap benarnya Laa ilaaha illallah
3) Mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah
4) Mengamalkan makna Laa ilaaha illallah
Adapun sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah tanpa memahami maknanya, atau tanpa meyakini dan mengamalkannya maka ulama seluruhnya sepakat (ijma’) bahwa syahadat tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali. Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
أما النطق بها من
غير معرفة لمعناها ولا يقين ولا عمل بما تقتضيه : من البراءة من الشرك
وإخلاص القول والعمل قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح فغير نافع
بالإجماع
“Adapun sekedar mengucapkan syahadat
tanpa memahami maknanya, tidak pula meyakini dan mengamalkan
konsekuensinya, yaitu berlepas diri dari syirik dan mengikhlaskan ucapan
dan perbuatan, baik ucapan hati dan lisan, maupun amalan hati dan lisan
(jika tidak dipersembahkan hanya bagi Allah) maka ucapan tersebut tidak
bermanfaat berdasarkan kesepakatan ulama.” [Fathul Majid, hal. 66]
Makna Laa ilaaha illallah
Seluruh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa makna laa ilaaha illallah adalah,
لا معبودَ حقٌّ إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.”
Artinya, segala sesuatu yang disembah
oleh manusia selain Allah ta’ala adalah sesembahan yang salah (batil),
karena tidak ada sesembahan yang benar (haq) kecuali Allah tabaraka wa
ta’ala. Sebagaimana telah Allah ta’ala tegaskan dalam Al-Qur’an,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah,
Dia-lah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka
sembah selain dari Allah adalah salah.” [Al-Hajj: 62 dan Luqman: 30]
Rukun Laa ilaaha illallah
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa kalimat Laa ilaaha illallah mencakup dua rukun, yaitu:
- An-Nafyu (penafikan) yang terdapat dalam kalimat Laa ilaaha, yang bermakna menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah ta’ala.
- Al-Itsbat (penetapan) yang terdapat dalam kalimat illallah, yang bermakna menetapkan atau meyakini bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah ta’ala.
Seorang hamba belum dianggap sebagai
muslim sebelum dia mengamalkan dua rukun ini. Andaikan ada seorang hamba
yang beribadah kepada Allah ta’ala; melakukan sholat, puasa, zakat dan
ibadah-ibadah lainnya, namun dia tidak meyakini bahwa Allah ta’ala
sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah
maka dia bukan muslim atau menjadi murtad karena tidak mengamalkan
kalimat Laa ilaaha illallah yang merupakan pintu untuk masuk ke dalam Islam.
Kedua rukun ini terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah ta’ala,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Al-Baqarah: 256]
Firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah)” adalah penafikan seluruh sesembahan selain Allah ta’ala. Adapun firman-Nya, “Dan hanya beriman kepada Allah” adalah penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar.
Syarat Laa ilaaha illallah
Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, barangsiapa yang tidak mengamalkan salah satu darinya maka dia belum mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah, yaitu:
Syarat Pertama: Ilmu, yaitu memahami makna dan rukun Laa ilaaha illallah secara benar. Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ اللَّه
“Maka berimulah bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” [Muhammad: 19]
Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّة
“Barangsiapa mati dalam keadaan berilmu
bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia
akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu]
Jika seseorang tidak memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah maka tidak bermanfaat syahadat yang diucapkannya.
Syarat Kedua: Yakin, yakni meyakini kebenaran makna dan rukun kalimat Laa ilaaha illallah tanpa meragukannya sedikitpun. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu.” [Al-Hujurat: 15]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ
بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan
yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang
hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut
tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Syarat Ketiga: Menerima (Al-Qobul), yaitu menerima dengan sepenuh hati konsekuensi kalimat Laa ilaaha illallah berupa
penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar
dan selain-Nya adalah salah, tidak boleh menolak sedikitpun, baik dengan
hati, lisan maupun perbuatan. Menolak kalimat Laa ilaaha illallah adalah sifat kaum musyrikin. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا
إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Kaum musyrikin itu apabila di katakan kepada mereka: (Ucapkanlah) Laa ilaaha illallah,
mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus
meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang
gila ini?” [As-Shaffat: 35-36]
Syarat Keempat: Tunduk dan Patuh (Al-Inqiyad), yaitu dengan mengamalkan makna dan rukun Laa ilaaha illallah, hanya
beribadah kepada Allah ta’ala dan menjauhi segala sesembahan
selain-Nya, disertai dengan mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya
(tunduk) kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kokoh (yakni kalimat
Laa ilaaha illallah).” [Luqman: 22]
Syarat Kelima: Jujur dan benar (Ash-Shidqu), yaitu jujur dan benar dalam beriman terhadap Laa ilaaha illallah,
tanpa mengandung kedustaan sedikitpun dalam hati. Kedustaan dalam
keimanan adalah sifat orang-orang munafik. Allah ta’ala berfirman,
إِذَا جَاءَكَ
الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ
لَكَاذِبُونَ
“Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar orang pendusta.” [Al-Munafiqun: 1]
Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ
يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah
hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk
hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” [HR. Al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu]
Syarat Keenam: Ikhlas,
yaitu benar-benar ikhlas dari dalam hatinya semata-mata karena Allah
ta’ala, bukan karena maksud dan tujuan lainnya. Allah ta’ala berfirman,
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Maka sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang ikhlas (bersih dari syirik).” [Az-Zumar: 2-3]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan
syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha
illallah dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam,
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّه
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu]
Syarat Ketujuh: Mencintai (Al-Mahabbah),
yaitu mencintai kalimat tauhid dan konsekuensinya berupa pemurnian
ibadah kepada Allah ta’ala dan pengingkaran terhadap penghambaan kepada
selain-Nya. Memurnikan cinta kepada Allah ta’ala adalah bagian dari
tauhid. Allah ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan diantara manusia ada yang menjadikan
tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dia cintai layaknya
mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai
Allah diatas segala-galanya).” [Al-Baqarah: 165]
Syarat Kedelapan: Pengingkaran (Al-Kufran) terhadap semua sesembahan selain Allah ta’ala,
yaitu menyalahkan semua sesembahan selain Allah ta’ala, tidak
mempercayainya dan tidak pula menyembahnya, karena sesembahan yang benar
dan patut diibadahi hanyalah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barangsiapa mengingkari thoghut
(sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh
(yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus, dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]
Kesalahan-kesalahan dalam Menafsirkan Laa Ilaaha Illallah
Kesalahan Pertama: Tafsir Ahlul Kalam / Filsafat: Menafsirkan kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Pencipta Selain Allah [لا خالق إلا الله].
Benar bahwa tidak ada pencipta selain Allah ta’ala, namun hal itu bukanlah makna Laa ilaaha illallah.
Dan jika makna ini diterima maka konsekuensinya kita harus menganggap
orang-orang yang menyekutukan Allah dalam ibadah yang diperangi oleh
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang-orang yang beriman,
sebab mereka juga beriman bahwa Allah ta’ala sang Pencipta. Allah
ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
kaum musyrikin itu: “Siapakah yang menciptakan mereka,” niscaya mereka
menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” [Az-Zukhruf: 87]
Kesalahan Kedua: Tafsir Sufi / Tasawuf: Menafsirkan kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Sesembahan Yang Wujud Kecuali Allah [لا إله موجود إلا الله].
Artinya menurut mereka, seluruh
sesembahan yang ada adalah Allah, bahkan orang yang sudah mencapai
derajat tertentu menurut paham sesat mereka dapat menyatu dengan Allah
ta’ala. Kesalahan ini sangat jelas merupakan kerusakan dalam agama dan
akal sekaligus, bagaimana bisa Allah ta’ala Yang Maha Suci menyatu
dengan makhluk yang kotor lagi penuh dosa dan kekurangan?! Lalu siapa
yang menyembah dan siapa yang disembah?!
Kesalahan Ketiga: Tafsir Berdasar Terjemahan: Mengartikan kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Tuhan / Sesembahan Selain Allah [لا معبود إلا الله].
Penerjemahan ini kurang tepat karena
bertentangan dengan kenyataan yang ada, yaitu banyaknya tuhan atau
sesembahan lain selain Allah ta’ala, maka yang benar, “Tiada yang berhak disembah selain Allah.”
Artinya, walaupun banyak tuhan yang disembah manusia selain Allah
ta’ala, namun semuanya adalah sesembahan yang salah, sedangkan yang
benar hanya Allah ta’ala.
Kesalahan Keempat: Tafsir Hizbiyun (Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir): Menafsirkan Kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Penentu Hukum kecuali Allah [لا حاكم إلا الله].
Benar bahwa tidak ada yang berhak
menentukan hukum selain Allah ta’ala, akan tetapi ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah sepakat bahwa itu bukan makna Laa ilaaha illallah,
sebab tafsir tersebut tidak mengandung maknanya secara menyeluruh, yaitu
memurnikan seluruh bentuk penghambaan (termasuk hukum) hanya kepada
Allah ta’ala.
Dampak buruk dari penafsiran yang menyimpang ini adalah munculnya pemahaman takfir
(pengkafiran) terhadap kaum muslimin yang tidak menerapkan hukum Allah
secara menyeluruh atau melakukan dosa-dosa besar yang tidak sampai pada
kekafiran. Juga muncul pemahaman sesat bahwa Khilafah Islamiyah adalah tujuan dakwah,
sehingga yang mereka dengung-dengungkan selalu hanyalah bagaimana agar
dapat berkuasa secepatnya tanpa memperhatikan penegakkan tauhid dan
sunnah. Padahal Khilafah Islamiyah hanyalah sebuah hasil yang akan diraih oleh kaum muslimin jika mereka benar-benar menegakkan tauhid dan sunnah. Justru keadaan mereka sangat jauh dari tauhid dan sunnah.
Kesalahan Kelima:
Tafsir Jahmiyah dan Mu’tazilah: Barangsiapa yang Menetapkan Nama dan
Sifat bagi Allah Ta’ala maka Dia Seorang Musyrik menurut pemahaman sesat
mereka.
Kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah tidak
mengimani seluruh atau sebagian nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala,
bahkan menurut mereka barangsiapa yang mengimaninya berarti telah
menyekutukan Allah ta’ala. Tidak diragukan lagi ini adalah tafsir yang
sesat, karena seorang mukmin wajib meyakini nama-nama dan sifat-sifat
Allah ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak
menyamakan-Nya dengan makhluk.
0 komentar:
Posting Komentar